Kamis, 19 Agustus 2010

Keberpihakan kepada Perempuan dalam Pemberitaan Firman

KEBERPIHAKAN KEPADA PEREMPUAN DALAM PEMBERITAAN FIRMAN 
(Tanggapan terhadap Kotbah 25 Nov 2007 dari Yohanes 8 : 2-11)

Tanggapan saya terhadap kotbah kemarin :
  1. Membuat contoh-contoh yang kurang tepat (tidak berpihak pada kaum wanita) dan disampaikan dengan ringan (kurang berempati)
a.       Istri yang terus sabar walaupun ada KDRT
b.      Istri yang kerap menghakimi suami
c.       Istri yang tidak bisa mengampuni walaupun suami sudah mengaku salah
Akibat yang mungkin timbul adalah :
-         orang menganggap pengampunan itu murahan (terutama pada pihak yang diuntungkan oleh contoh tersebut)
-         tidak ada kekuatiran akan rusaknya relasi dengan pasangan karena toh pengampunan itu mudah didapat
-         karena tidak ada empati terhadap pihak yang menjadi korban maka mungkin sekali akan menimbulkan frustasi di pihak istri (korban KDRT, korban pengkhianatan/kebohongan)

  1. Inti perikop tidak clear ditangkap oleh jemaat karena ilustrasi kurang terarah dan (sekalipun masalahnya serius) disampaikan dengan ringan. Menurut pendapat saya eksposisi kemarin seharusnya fokus pada hal berikut :
-         Semua manusia berdosa (dosa zinah maupun dosa kemunafikan)
-         Tuhan Yesus berotoritas mengampuni dosa
-         Betapapun nistanya dosa (termasuk dosa selingkuh), manusia hendaknya meneladani Yesus yang mau mengampuni

Pandangan saya seputar masalah gender:
  1. Karena masyarakat kita menganut budaya paternal yang sangat kuat, maka sebagai warga gereja cara pandang kita terhadap masalah gender   sedikit banyak terkena imbas. Salah satunya adalah kalau suami melakukan dosa zinah itu karena kodratnya diciptakan demikian. Oleh karena itu kaum wanita (para istri) diharapkan dapat lebih toleran. Secara tidak sadar ini disosialisasikan di seminar2 keluarga, termasuk dalam lingkup gereja. Semula tujuannya mungkin positif, yaitu agar kaum istri dapat lebih memahami kelemahan kaum pria. Namun dampak negatifnya adalah - terutama apabila hal itu terus menerus disosialisasikan tanpa ada imbangan -  kaum pria  bisa jadi permisif terhadap perilaku demikian. Bukankah kaum wanita (para istri) telah dikondisikan untuk mengerti (menerima) dan mengampuni. 
  2. Hal lain yang berkembang adalah kecurigaan terhadap wanita yang mapan karirnya. Seorang wanita (apalagi berstatus istri) yang menduduki jabatan penting selalu mendapat sorotan dari sekelilingnya. Seolah-olah ada ‘ketakutan’ bahwa wanita-wanita tersebut akan mengancam dominasi kaum pria. Bagi saya ini banyak dipengaruhi paham agama tertentu yang tidak menghendaki wanita berkembang secara intelektual. Saya berkeyakinan bahwa Allah sebagai Pencipta manusia, menghendaki baik laki2 maupun perempuan untuk mengembangkan potensi dan karunianya secara maksimal. Apabila kemudian keduanya membangun keluarga, maka hal tersebut tidak membuat pengembangan potensi/karunia sebagai individu otomatis berhenti, tetapi hendaknya disinergikan dengan peran baru mereka dalam keluarga (Efesus 5). Saling menolong dalam mengembangkan potensi/karunia akan terus berjalan  selama keduanya mengarungi bahtera rumah tangga, selama hidup masih diberikan Tuhan. Kekuatiran bahwa istri yang pintar (berbakat, berprestasi, dll) akan memandang rendah suaminya rasanya berlebihan. Saya kira ini dipengaruhi cara pandang kaum pria yang memberi ‘value’ pada prestasi dan kesuksesan. Padahal sesungguhnya  wanita memberi ‘value’ pada sifat dan kepribadian seseorang.

Kenyataan bahwa dengan bekerja di luar rumah seorang ibu akan kehilangan waktu bersama anak-anaknya adalah memang benar. Saya percaya akan pentingnya kwantitas pertemuan dengan keluarga. Oleh karena itu, baik suami maupun istri sama-sama menggumulkan hal ini dalam pimpinan Tuhan. Apabila kita sungguh-sungguh memahami firmanNya, bukan hanya para istri/ibu yang perlu berpikir dua kali akan pekerjaannya, tetapi juga para suami/ayah. Tanggung jawab dalam membangun keluarga ada pada suami dan istri. Sebagai anak Tuhan keduanya melakukan  perannya sesuai firman Tuhan (Efesus 5). Saya yakin apabila suami dan istri tinggal di dalam Tuhan maka tidak ada kesulitan yang cukup berarti dalam melaksanakan peran tersebut. Kelemahan yang satu diisi oleh yang lain demi membangun keluarga sebagaimana yang Tuhan inginkan.


Saran-Saran :
Oleh karena itu, sebagai hamba Tuhan yang bertanggung jawab mendidik jemaat, apabila memberi ilustrasi berkenan dengan topik2 seperti di atas,  alangkah baiknya untuk memberi ‘imbangan’ dan bukan malah mempertajam masalah tersebut. Misal :
-         Daripada contoh istri korban KDRT yang mengampuni suami, mengapa tidak memberikan contoh suami yang mengampuni istri yang telah berbuat salah atau tidak bijak menangani kehidupan keluarganya
-         Memberikan contoh-contoh tentang pria yang berhati Bapa, yaitu suami yang memahami istrinya sekalipun secara fisik tidak dapat tampil baik atau tidak dapat memenuhi keinginan rekreasi suami (biasanya istri yang baru melahirkan, istri yang bekerja keras ataupun istri yang memasuki masa menopause). Ini jauh lebih positif daripada sekedar memberi saran pentingnya istri berdandan, yang sudah banyak disampaikan dalam seminar2 kecantikan
-         Contoh2 berkenaan dengan dosa yang serius, seperti perselingkuhan, KDRT, dll sebaiknya disampaikan dengan lebih berempati. Lebih baik lagi apabila disampaikan dalam forum terbatas. Sebelum menyampaikannya barangkali kita perlu membayangkan seandainya kita atau anak atau saudara kita yang mengalaminya. Contoh yang disampaikan tanpa empati dapat membangkitkan rasa frustasi dari pihak korban.
-         Agar lebih hati-hati memberikan contoh ibu yang menerlantarkan keluarga karena sibuk berkarir. Perlu dipikirkan seberapa besarkah kecenderungan ini dalam masyarakat kita (dan gereja), cukup signifikankah? Saya kuatir  ini hanya upaya kaum pria (dalam konteks budaya paternal tadi) yang tidak menghendaki perempuan berkembang secara intelektual.  Contoh ini bukan hanya dapat menimbulkan citra negatif bagi wanita berprestasi, tapi lebih jauh lagi dikuatirkan dapat membuat para istri takut berkarya, takut mengembangkan potensi dan karunia yang Tuhan berikan. Saya yakin sekali bahwa apabila ada survey yang mengharuskan wanita memilih salah satu di antaranya – karir atau keluarga – sebagian besar akan memilih keluarga

Kiranya tanggapan saya dapat dipandang sebagai masukan untuk dipelajari.


Jimbaran, 27 November 2007

Jumat, 13 Agustus 2010

Cerita Dua Sahabat

‘Ayo nak.... lari lebih cepat! Kau pasti bisa menangkapnya’. Suara ibu lenyap ditelan badai yang mulai bertiup. Musim dingin hampir tiba di Greenland utara. Siang menjadi lebih pendek dan malam-malam semakin panjang. Swarzky berlari pulang dengan tangan hampa. Ia sudah berusaha mengejar, tapi tak berhasil. Ringed seal)* itu lebih dulu terjun ke laut. Ibu tidak marah. ‘Besok harus kau coba lagi. Kau sudah cukup besar sekarang’
‘Apakah ibu ikut denganku?”
‘Tidak. Ibu akan pergi ke teluk di sebelah timur. Kudengar di sana masih ada ringed seal. Kau boleh pergi dengan Johansen’.

Swarzky senang pergi bersama Johansen, sahabat karibnya. Usia mereka tak jauh beda, mungkin hanya terpaut beberapa bulan saja. Johansen tinggal tak jauh dari perkampungan ilmuwan Swedia. Para ilmuwan itulah yang memberi nama sahabatnya itu. Persis nama anak laki-laki di kampung asal mereka, begitu katanya.

)* ringed seal : sejenis anjing laut
Swarzky sendiri tak tau asal usul namanya, mungkin juga dari para pekerja Rusia yang pernah singgah di tempat itu. Ibu tak pernah cerita. Yang pasti para ilmuwan itu orang-orang yang baik hati. Mereka tak pernah mengganggu, bahkan kadang memberi ikan kaleng. Ikan kaleng memang tak seenak ikan segar, apalagi ringed seal. Lagi pula kurang sehat, mengandung pengawet, kata ibu. Tapi tak apa kalau cuma makan sekali-sekali. Terutama kalau ayah tak berhasil menangkap ikan.

Terkenang ia suatu malam di musim panas yang lalu. ‘Sekarang makin sulit mendapatkan ringed seal’, suara ayah berat terdengar. ‘Aku sudah menjelajah sampai ke perkampungan yang paling jauh. Entah kemana mereka pergi’. Akhir-akhir ini dataran es di daerah itu mencair sehingga banyak ringed seal kehilangan tempat tinggal. Bahkan saudara mereka, sepupu Swarzky, juga terpaksa mengungsi entah kemana. Mereka tak pernah lagi memberi kabar. Kata ayah ini karena bumi semakin panas. ‘Semuanya karena ulah manusia. Mereka tidak sadar, kalau daerah ini mencair mereka akan mengalami bencana’. Ibu biasanya menghibur dengan suaranya yang teduh menenangkan hati. ‘Mungkin besok ringed seal itu muncul’, atau, ‘ikan segar lebih baik untuk kesehatan’. Suara ibu yang lembut  menghibur hati Swarzky yang berbaring diam-diam di biliknya. Mengusir rasa lapar akibat tak makan seharian. Dan menghantarnya tertidur dengan mimpi indah, bahwa besok ringed seal itu akan muncul........
Tapi ringed seal itu tak pernah muncul lagi. Bahkan sampai ketika ayah semakin lemah, lalu meninggal karena kekurangan makanan.

Pagi itu ringed seal tidak juga muncul, meski sudah dua jam mereka menuggu di sana, di tempat di mana ia kemarin terlihat.  ‘Apakah kita pulang ke rumah? Mungkin ibu berhasil menangkap ikan’. Tapi kemudian Swarzky ingat, ibu pergi ke teluk di timur. Tempat itu cukup jauh, mungkin lewat siang hari ibu baru kembali. Jadi Johansen mengusulkan untuk pergi ke perkampungan ilmuwan. Siapa tahu mereka berbaik hati memberi ikan kaleng.

Pondok perkampungan ilmuwan tampak di kejauhan, bagai setitik noda di hamparan salju yang luas. Johansen berjalan mendahului. Ia selalu lebih berani. Mungkin karena ia pernah tinggal di sana beberapa waktu. Mereka mengelilingi pondok, mengintip dari jendela kaca yang mengembun. Nah, itu mereka sedang berkumpul. Wajah para ilmuwan itu tampak tegang. Mereka dapat mendengar suara-suara keras. Dan salah satu di antaranya – mungkin pemimpinnya – tampak memukul meja. Swarzky tak mengerti apa yang dibicarakan. Tapi kata Johansen telah terjadi sesuatu. Ada pembunuhan di teluk sebelah timur. Tak jauh dari situ ada kapal pemecah es yang sedang  berlabuh. “Diduga salah seorang awaknya telah menembak mati seekor beruang kutub betina!”.

Teluk di sebelah timur?? Bukankah tadi pagi ibu pergi ke sana? Bagai disengat listrik Swarzky menjerit dan berlari ke arah timur, tak menghiraukan sahabatnya yang berusaha mengejar sambil berteriak memanggil-manggil. Para ilmuwan berhamburan keluar dari dalam pondok, melihat apa yang terjadi. Di kejauhan, dua ekor anak beruang kutub berlari ke arah teluk, dan menghilang di balik garis cakrawala.

--------------------------

This tale reminds you
that we, endangered creature, live in one world
The world belongs to God, The Creator
No matter where we live
or how different we looked or sound
We have the right to be loved, to be nurtured
and to stay exist
( Swarzky & Johansen )




Buletin No.05/2009

Jonatan

Gerimis mulai turun ketika kerumunan kecil itu bubar. Satu persatu kuli pasar meninggalkan gundukan tanah yang masih merah. Tinggal Diana, dan Bram teman lama  yang sudah sepuluh tahun tak bertemu. Hari-hari kemarin telah membawa keduanya menjadi begitu dekat. Berbagi hati dan pikiran. Juga kesedihan. Keluar masuk rumah sakit. Menelpon banyak  orang, berusaha menemukan mereka yang masih punya belas kasihan untuk – kalau dapat – memperpanjang hidup Jonatan, kuli pasar Pondok Labu.

Siang itu dua minggu lalu, telpon berdering di ruang kerja Bram. ‘Ini Diana, masih ingat kan? Dulu kita sama-sama di UI. Sekarang aku jualan di pasar. Aku perlu orang yang mau menolong Jonatan, kuli pasar yang sekarang lagi di ICU. Suara di ujung telpon memberondong telinga Bram. Siapa Jonatan? Bram tak kenal! Jangankan Jonatan, wajah Dianapun susah payah ia bayangkan. Yang diingatnya hanyalah bahwa kuliah Diana terhenti di semester delapan karena ibunya meninggal.  ‘Ternyata dia jualan sembako. Sayang, padahal seingatku dia cerdas’. Bram coba mengingat-ingat.

Dari ruang kerjanya yang nyaman di lantai 12 Menara BNI, Bram dapat menikmati kemegahan gedung-gedung bertingkat dan mobil mewah yang berseliweran di jalan Sudirman. Namun walau tak ingin, matanya tak bisa menghidari sederatan gubuk reyot di balik gedung-gedung megah itu. Awalnya Bram gelisah. Tapi itu dulu, bertahun-tahun lalu. Lambat laun ia terbiasa.  Kesibukan pekerjaan, rapat-rapat tingkat pimpinan bahkan urusan ke luar negeri membuat pemandangan itu menjadi kabur. Kegelisahan hatinya pelan-pelan surut. Ia tak lagi bicara... sampai siang hari itu, ketika Diana menelpon. ‘Kalau bukan kamu siapa lagi yang bisa menolong Jonatan?’

Turun dari Honda CRV yang sejuk, Bram melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Di loket orang berdesakan. Di bangku panjang seorang bocah perempuan tergolek lemas di pangkuan ibunya, tak kuat menunggu petugas memeriksa berkas-berkas surat miskin yang dibawa ayahnya. Bram membuang muka, menepis gelisah yang tiba-tiba datang mengusik hati. Matanya mencari-cari Diana, seperti apa rupanya sekarang?
‘Bram ya?’, seorang menyapanya ramah. Bram berbalik cepat, menatap sosok ramping yang bersahaja. Matanya yang bulat tajam menyiratkan kecerdasan dan keteguhan hati.  ‘Apa kabar Diana?’. Bram mendadak rikuh.
‘Ayo, kita langsung ke ICU’. Diana melangkah ringan menemui perawat jaga dan tampaknya beradu pendapat untuk mendapat ijin masuk berdua. Bram tertegun. Alangkah berbeda dengan Kinar dan Angela, dua perempuan yang pernah mengisi hatinya.

Jonatan terbaring dengan selang di sana-sini. Seorang anak laki-laki, masih muda. ‘Mungkin dua puluh tahun’, Diana berbisik. Sendirian di ibukota, tanpa saudara atau  keluarga. Sejauh-jauh yang ia kenal hanyalah sesama kuli di pasar Pondok Labu. Dan mungkin kepala preman kepada siapa dia harus membayar setoran. Itulah profesinya sejak dua tahun lalu. Sesaat setelah ibunya meninggal seorang kenalan yang mengaku paman mengajaknya ke Jakarta dengan sejuta janji. Alih-alih dipekerjakan di pabrik komputer, Jonatan dijadikan pembantu dan mengalami pelecehan seksual. Tak tahan diperlakukan demikian Jonatan memilih kabur dan sempat tidur di emperan toko, sebelum akhirnya terdampar di pasar Pondok Labu.
‘Serombongan kuli kemarin mendatangi kios dan memintaku untuk menjamin  pengobatan Jonatan’, Diana melanjutkan. Tiga hari lalu Jonatan pingsan. Para kuli melarikannya ke rumah sakit dengan angkot sewaan. Lalu membayar persekot supaya ia bisa dirawat. Dokter bilang sakitnya parah, harus dioperasi. Dan harus ada yang menjamin pengobatannya. ‘Kami pikir ibulah orangnya’, Diana menirukan Sobari, kuli berbadan kekar yang menjadi juru bicara. Yang lain menimpali tanda setuju.

Betul, harus ada orang yang bertanggungjawab atas pengobatan Jonatan. ‘Tapi pasti  bukan aku. Aku cuma pedagang sembako’, batin Diana. Lalu siapa? Sesama kulikah? Atau teman sesama suku? Belakangan ia tahu kalau Jonatan berasal dari daerah yang sama. Mungkin itu alasan para kuli mendatanginya. Ataukah sesama agama? Plak! Diana merasa tertampar.  Kuli-kuli itu sudah membayar sewa angkot dan persekot rawat inap, padahal mereka miskin. Berbeda suku, berbeda agama lagi! Suara-suara bergemuruh dalam hatinya. Antara biaya operasi dan desakan para kuli. Antara kenyamanannya dan nyawa Jonatan. Suara kuli makin keras menggema. Lalu menyatu dengan Suara lain yang senada,  muncul dari kedalaman nuraninya. Suara itulah yang menggerakkannya menghubungi Bram. Lalu kemudian Melati dan Kurnia serta sekian  nama lainnya. Sampai habis pulsanya, dan kios sembako terpaksa ditunggui adiknya. Suara itu tak bisa diam dan terus mendorongnya – bersama  Bram – untuk melakukan segala upaya demi menyelamatkan Jonatan. Meski akhirnya nyawanya tak tertolong  sekalipun operasi sudah dilakukan, Diana lega karena paling tidak,  di ujung kehidupannya anak laki-laki itu telah diperlakukan sebagaimana layaknya seorang manusia. 

Hujan deras berhenti tepat ketika mobil sampai di depan rumah Diana.
‘Sampai besok Di...’. Entah kenapa, hati Bram selalu ingin kembali.

Cukup lama aku jalan sendiri, tanpa teman yang  sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini, tajamnya  matamu tikam jiwaku
Kau tampar, bangkitkan aku, sobat.......(Iwan Fals)

Suara hati Diana terus bergema. Menyentuh nurani dan membangunkan jiwa. Untuk menyatakan kasih. Kepada sesama manusia........

Buletin No.04/2009

Pedagang Boneka

Dulu, waktu masih kelas nol kecil aku sering berlagak di depan kelas, ‘Aku anak tentara. Bapakku pergi berperang untuk menjaga  negeri ini. Mengusir orang-orang jahat yang mengganggu keamanan’. Teman-temanku bertanya, ‘Apa bapakmu punya pistol? Apa bajunya loreng?’ Dengan bangga kuceritakan kehebatan bapakku, bagaimana ia bertempur melawan musuh. Aku tak mengerti istilah operasi militer yang sering disebut-sebut Bapak. Bagiku itu tentulah suatu pertempuran, seperti perang yang kulihat di televisi. Teman-temanku kagum. Walaupun di TK itu ada juga anak tentara, tapi di kelasku, kelas nol kecil, cuma aku sendiri. Banyak di antara mereka yang takut kepadaku, sangkanya aku akan mengadu kalau mereka nakal. Tapi aku tak pernah nakal, tak boleh kata ibu. Itulah kebahagiaanku di masa kecil. Bersekolah dengan penuh kebanggaan sebagai anak seorang tentara.

Tapi itu dulu, bertahun-tahun lalu. Waktu bapak masih aktif berdinas. Ketika aku kelas 2 SD ia terkena tembakan dalam sebuah operasi militer di Aceh. Bapak pulang dalam keadaan buta mata kirinya. Ia dipensiunkan dengan terhormat dan mendapat uang pesangon yang cukup besar. Uang itu dibelikan rumah yang sekarang kami tempati. Kuingat bagaimana kami harus meninggalkan perumahan tentara, yang walaupun hanya sepetak kecil namun bagiku sangat membanggakan. Sampai saat ini Bapak masih menerima uang pensiun, namun kata ibu tak cukup untuk biaya hidup kami. Oleh karena itu Bapak mencari pekerjaan. Mulai dari pegawai kantor sampai security ia coba lamar. Tapi siapa mau mempekerjakan orang buta? Bertahun-tahun ia berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tukang parkirpun pernah ia lakoni. Sampai pada akhirnya ia memilih berdagang boneka. Dan itulah profesinya sampai hari ini.

Aku melirik jam di atas kepala pak guru. Sebentar lagi bel istirahat kedua. Inilah waktu yang paling menyiksa. Saat teman-temanku bermain di halaman sekolah, saat itu Bapak akan lewat menjajakan jualannya. Memang itu jam pulang anak-anak kelas 1 dan 2SD, jadi banyak ibu-ibu menunggu. Ini kesempatan baik. Anak-anak itu merengek minta dibelikan boneka. Warna-warninya menarik hati, lagipula harganya terjangkau. Jauh sekali dibandingkan dengan harga toko. Tapi, Sinta – anak paling kaya di kelas 8C – mencibirkan bibirnya yang monyong. ‘Itu kwalitas rendahan, makanya harganya murah’. Besoknya ia memamerkan boneka beruangnya yang berbulu halus dan empuk. Anak perempuan terkagum-kagum. Tapi Bapak tak kekurangan langganan.

Yang lebih menyakitkan adalah gurauan anak laki-laki yang suka menirukan cara Bapak menjajakan dagangannya. Mereka, anak-anak 8C itu tertawa keras-keras sambil matanya melirik ke arahku. Teman-temanku bilang tak usah dihiraukan. Tapi hatiku sakit juga. Aku mau bilang, dulu bapakku tentara. Tapi kubatalkan. Pasti mereka tak percaya. Mana mungkin orang buta jadi tentara. Pak Wayan Subawa Kepala Sekolah kenal dengan bapak, dan kadang-kadang mengajaknya ngobrol. Tapi itu tak membuat teman-temanku percaya bahwa dulu Bapak adalah tentara yang berjasa terhadap negeri ini.

Sore itu sepulang sekolah aku tidur-tiduran di kamar. Hatiku masih kesal ingat Agus yang mengejek Bapak siang tadi. Mungkin ia cuma mau mencuri perhatian Sinta, tapi tawa mereka membuat hatiku panas. Tanpa sadar, tanganku melayang ke  pipinya yang tembem. Plak! Dia kaget. Anak perempuan berlarian keluar kantin. Anak laki-laki bersorak. Untung pak Made guru olah raga datang melerai, kalau tidak kami sudah baku hantam. Aku kesal sama Agus. Aku juga malu punya bapak pedagang boneka. Huh! Kenapa sih Bapak tak memilih profesi lain? Pegawai kantor atau mungkin pedagang sembako, bagiku itu lebih baik. Kenapa pedagang boneka? Langganannya cuma ibu-ibu dan anak perempuan. Memalukan! Dengan hati panas dan perut kosong aku tertidur sampai pagi. Hujan deras yang terus-menerus mengguyur Denpasar membuatku tidur pulas dan bermimpi jadi anak orang kaya.

Pagi itu aku memasuki halaman sekolah yang becek. Kulihat Agus dan seorang laki-laki paruh baya. Oh, pasti ayahnya! Jangan-jangan dia mau memarahiku. Dengan kepala menunduk aku melintas cepat-cepat. Tiba-tiba, laki-laki itu menepuk bahuku.
‘Aditya, saya bapaknya Agus. Saya mau menyampaikan terimakasih sama bapakmu. Tolong kasitau, boneka yang kemarin dibeli Iluh, adiknya Agus, telah menyelamatkan nyawanya dari runtuhan tembok’. Aku diam tak mengerti. ‘Aku juga minta maaf karena kemarin mengejek Bapakmu’. Suara Agus menimpali, makin membuat aku bingung. Kami bersalaman kagok.

Keesokan harinya kubaca di koran berita seorang anak perempuan yang lolos dari maut. Sebuah boneka besar yang menemaninya tidur telah menyelamatkannya dari tembok kamar yang runtuh akibat tanah longsor. Iluh, anak itu juga difoto sambil memeluk boneka beruangnya yang sudah robek. Boneka yang dibelinya dari Bapak persis pada hari aku bertengkar dengan Agus.

Aku terdiam, pikiranku mengawang.  Sebuah perasaan lain menyelinap dalam hatiku. Tiba-tiba aku merasa bangga.  Bapak tetap seorang pahlawan. Dia bukan hanya menghidupi keluarga kami. Tapi pekerjaannya juga telah menyelamatkan nyawa orang lain.

‘Pekerjaan halal apapun yang membawa kebaikan bagi orang lain adalah mulia..’, suara bu Kus guru Budi Pekerti memecah lamunanku.


Buletin No.03/2009

Vallendar

( Untuk Ulfa yang Menikah Muda )

Masih jam lima lebih seperempat ketika Ayu berjalan pulang dari tempat kursus. Itu berarti matahari masih akan bersinar empat lima jam lagi. Musim panas menjadikan siang lebih panjang. Teringat rumahnya yang mungil di Bali. Tepatnya, di bukit Jimbaran. Sedang apa mereka sekarang? Aji, mama dan adiknya yang suka usil. Oh, mereka sedang tidur. Tiba-tiba ia sadar ada perbedaan waktu delapan jam antara Jimbaran dan Vallendar di Jerman.

Hahaha....aku sekarang di Jerman! Rasanya mau meledak ketika pertama kali menjejakkan kaki di bandara Frankfurt. Serasa mimpi. Pemerintah Jerman menghadiahinya bea siswa untuk mengikuti kursus musim panas. Ini kesempatan untuk belajar bahasa dan mengenal budaya Jerman. Kesempatan untuk berkenalan dengan remaja-remaja dari negara lain. Dan tentu saja, yang paling membuat hatinya melambung adalah kesempatan mengunjungi kota-kota di Jerman. Ia bertekad mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Dan kalau ia sungguh-sungguh belajar, bukan tak mungkin ia melanjutkan sekolah di sana. Wow! Sekolah di Jerman. Kini ia berani memimpikannya!

Mimpi. Itulah kata paling tepat untuk melukiskan semua yang dirasakan Ayu. Bayangkan! Usianya belum lagi tujuh belas. Dan mereka bukan orang kaya. Jangankan ke Jerman, bersekolah di Jakarta  saja ia tak berani bermimpi. Teringat dulu waktu lulus SMP, Andin sahabatnya melanjutkan ke SMA favorit di Jakarta. Dijamin lolos masuk perguruan tinggi mana saja, begitu kata Andin tentang sekolahnya. Ayu menelan ludah waktu mendengar angka belasan juta. Itu baru uang masuk sekolah. Mama menghiburnya. ‘SMA 14 juga bagus. Yang penting tekun pada bidang yang kamu minati’. Mama menganjurkan agar ia memperdalam bahasa. Menguasai satu bahasa dapat menjadi pintu masuk untuk melanjutkan sekolah ke negara yang bersangkutan. Soal biaya, kita bisa mencari bea siswa. Yang penting berusaha keras.
Ayu memang menyukai bahasa. Sejak SMP ia telah menunjukkan prestasi dalam berbagai lomba bahasa Inggris. Namun, memasuki SMA ia memilih  bergabung dengan klub   Jerman di sekolahnya. Dan benar kata mamanya, ia memang berbakat di sana. Tak sampai setahun ia mulai menunjukkan prestasi. Pada seleksi tingkat nasional Olimpiade Bahasa Jerman ia mencapai hasil yang memuaskan. Oleh pemerintah Jerman ia bersama sepuluh peserta terbaik lainnya menerima penghargaan untuk mengikuti kursus musim panas di Jerman. Dan Ayu pun terbang ke sana.

Masih satu setengah jam sebelum makan malam. Jadi ia putuskan untuk duduk-duduk di taman sambil menikmati suasana sore musim panas. Terlalu banyak hal menarik di sini, ia harus menuliskannya. Teman-temannya harus tahu, harus ikut merasakan. Ia ingin suatu saat mereka juga bisa  ke sini. Tiba-tiba  ia teringat Ulfa, teman sebangkunya, jagoan matematika.  Sayang, orangtuanya  ingin ia segera menikah. Seorang dokter yang masih terhitung kerabat siap  menikahinya selepas SMA. Ah! Sakit hati Ayu memikirkannya. ‘Waktu aku kuliah di Jerman, Ulfa sedang mengurus anaknya. Betapa malangnya!’. ‘Aku harus mengingatkannya’. Ayu meraih diarynya dari dalam ransel.

Dari perbukitan Vallendar aku berdiri memandang ke arah kota tua Koblenz, di seberang sungai Rhein yang termasyhur itu. Padang rumput bagaikan permadani hijau, membentang dari utara sampai  barat daya. Warna-warni bunga liar  seperti butter cup, red poppy dan foxglove menambah  semarak padang rumput. Pohon sycamore tumbuh di sepanjang jalan. Tupai dan kelinci berlarian di sana-sini. Burung gagak terbang bebas di langit dan hinggap semaunya di pohon-pohon itu. Tak seorangpun berniat mengusik, apalagi menembaki burung-rung itu....

Dari tempatku berdiri saat ini, tampak perkampungan di lembah sebelah barat. Rumah-rumah kayu bercat merah dan atap gereja berbentuk kerucut menyembul dari balik ladang oats yang bergelombang. Bali memang indah, mungkin yang terindah di antara semua tempat-tempat berpantai. Tapi tempat ini berbeda. Padang rumput serasa  memanggil-manggil. Aku ingin berlarian di sana, mengejar tupai dan kelinci, kalau-kalau aku dapat menangkapnya. Ulfa, kamu harus melihatnya.....

Jam tujuh kurang lima menit. Tak terasa  sudah lebih satu jam ia di situ. Hari masih terang. Ayu mengemasi catatannya. Masih tiga minggu lagi ia di sini. Mereka, Ayu  dan teman-temannya akan berkunjung ke Bonn, ke Frankfurt dan Marburg. Mungkin juga ke Munich. Ia akan membuat catatan perjalanan. Tentang bangunan tua, museum dan kastil-kastil yang bertebaran di sana. Untuk jadi kenang-kenangan bagi dirinya. Dan oleh-oleh bagi Ulfa. Juga bagi teman lainnya. Supaya mereka berani bermimpi tentang Jerman, tentang Amerika dan negeri-negeri yang jauh. Dan rela berjuang untuk mengejar impiannya.


Buletin No.02/2009

Kamar Kos

Setengah berlari aku menapaki jalan sempit limestone tak jauh dari kampus. Motor kuparkir di bawah pohon ketapang di depan studio gambar. Toh tak jauh, pikirku. Lagipula jalan kaki baik buat kesehatan, begitu anjuran dosen Perancangan Arsitektur tadi. Entah kenapa kuliahnya ngelantur ke mana-mana, sampai ke masalah kesehatan.

Kulihat jejeran kamar kos yang semua pintunya tertutup. Jemuran di depan pintu digelantungi pakaian dalam wanita warna-warni. Memang ini kos2an cewek. Itu sebabnya aku ke sini mencari kamar kosong untuk karyawan yang mau kerja di kantor papaku.

Aku melangkah ringan menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka. Mungkin milik juragan kos. Uups! Hampir saja aku menabrak sesosok tubuh yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
‘Eeh...maaf pak, maaf....’. Aku terbungkuk-bungkuk seperti kucing ketangkap basah. Koq ada laki2 di sini?

‘Selamat siang pak....apakah bapak pemilik kos2an ini?’, tanyaku sesopan mungkin.
Orang itu tak menjawab. Mungkin dia tuli.
‘Selamat siang pak... bapak pemilik kos2an ini?’, tanyaku lebih keras. Mataku mencuri pandang. Wajahnya belum terlalu tua, pucat kelelahan. Air mukanya sulit kugambarkan. Sepertinya ia menahan marah. Gerak-geriknya menunjukkan betapa ia bingung.
‘Bukan’, nadanya datar. Pasti dia tak menyukai kehadiranku. Dari sudut mata kulihat seorang gadis – mungkin seumuran ku – membenamkan kepalanya di tempat tidur. Mengabaikan kehadiranku bagai seonggok pakaian kotor.
‘Nng...apakah bapak tau di sini ada kamar kosong?’
Orangtua itu melangkah ke sudut teras, bersandar ke dinding sambil menatap kosong ke langit.
‘Saya nggak tau’, nadanya ketus. Mungkin maksudnya begini, sudah jangan banyak tanya, pergi saja. Saya lagi tak mau diganggu.
Angin bukit yang panas bertiup pelit, menerbangkan beberapa helai daun kering yang berjatuhan di teras. Bali memang lagi panas-panasnya. Kulirik lagi anak itu, terdengar isak tangis yang ditahan.
‘Dia anak bapak ya?’ Kalimat itu meloncat begitu saja tanpa bisa kutahan.
Orangtua itu menarik nafas dan menghembuskannya kuat-kuat. Mungkin ia mau menghempaskan seluruh beban pikirannya. Atau, bisa juga bermaksud menghempaskanku jauh-jauh dari hadapannya. Aku salah tingkah, merasa bersalah telah hadir di tengah situasi yang tidak tepat. Aku berbalik membelakangi, bermaksud pulang.
‘Ya, itu anakku’, tiba-tiba kudengar suaranya bergetar pelan. Angin bukit yang sedang bertiup mendadak berhenti, barangkali ingin turut mendengarkan.
‘Anak yang tadinya paling kuharapkan....Dia berhasil masuk Kedokteran tahun lalu tanpa tes. Waktu SMA dia juara sekolah’. Nadanya terasa berat, seperti memikul berton-ton beban.
‘Dia....dia korban laki-laki jahat...kakak kelasnya’. ‘Atau......entahlah, mungkin juga karena kebodohannya’.
Aku menelan ludah. Rasanya seperti tersangkut di kerongkongan. Kupalingkan mukaku ke dalam kamar, anak perempuan itu masih di sana, terisak-isak.
‘Dia hamil ya pak?’. Lagi-lagi aku merasa konyol telah mengatakan sesuatu tanpa berpikir. Terus terang aku tak tau harus mengatakan apa. Orangtua itu tampak sangat menderita. Raut mukanya menunjukkan kesedihan yang amat dalam. Sesaat matanya menatapku layu. Lalu tertunduk lesu dalam kebingungan.

Sebuah mobil pick-up berjalan mundur dengan susah payah ke arah kos2an. Seorang anak laki-laki berseragam SMA keluar dari dalam mobil. Pasti adiknya, aku menduga-duga. Wajahnya mirip orangtua itu. Tanpa menghiraukanku anak itu langsung masuk ke kamar mengangkuti barang yang ada ke dalam mobil. Supir pick-up berbaik hati ikut membantu.
Aku bergegas pulang. Tak sanggup berlama-lama memandangi orangtua yang kehilangan harap itu. Tubuh tuanya tampak semakin kurus keriput.
‘Anakku kubawa pulang hari ini...besok harus bagaimana, aku tidak tahu...’, suaranya bagai   angin bukit yang kelelelahan, bertiup lemah dari kejauhan.
Kutinggalkan kos2an yang bagiku terasa bagaikan neraka. Tak kuingat lagi tugasku mencari kamar kosong untuk karyawan papa.
Aku berbelok memasuki halaman kampus, menuju pohon ketapang di depan studio gambar. Sepasang burung kepodang terbang bebas di langit biru. Alangkah luas dunia ini. 

Kustarter motorku dan berjalan meninggalkan kampus. Seperti burung kepodang itu aku akan terbang menerjang angin, menangkap awan-awan yang berkejaran di langit. Menjelajahi tempat-tempat yang selama ini hanya ada dalam mimpiku. Tak kubiarkan kebodohan menghalangi jalanku. Tak akan.

Buletin No.01/2009