Jumat, 13 Agustus 2010

Jonatan

Gerimis mulai turun ketika kerumunan kecil itu bubar. Satu persatu kuli pasar meninggalkan gundukan tanah yang masih merah. Tinggal Diana, dan Bram teman lama  yang sudah sepuluh tahun tak bertemu. Hari-hari kemarin telah membawa keduanya menjadi begitu dekat. Berbagi hati dan pikiran. Juga kesedihan. Keluar masuk rumah sakit. Menelpon banyak  orang, berusaha menemukan mereka yang masih punya belas kasihan untuk – kalau dapat – memperpanjang hidup Jonatan, kuli pasar Pondok Labu.

Siang itu dua minggu lalu, telpon berdering di ruang kerja Bram. ‘Ini Diana, masih ingat kan? Dulu kita sama-sama di UI. Sekarang aku jualan di pasar. Aku perlu orang yang mau menolong Jonatan, kuli pasar yang sekarang lagi di ICU. Suara di ujung telpon memberondong telinga Bram. Siapa Jonatan? Bram tak kenal! Jangankan Jonatan, wajah Dianapun susah payah ia bayangkan. Yang diingatnya hanyalah bahwa kuliah Diana terhenti di semester delapan karena ibunya meninggal.  ‘Ternyata dia jualan sembako. Sayang, padahal seingatku dia cerdas’. Bram coba mengingat-ingat.

Dari ruang kerjanya yang nyaman di lantai 12 Menara BNI, Bram dapat menikmati kemegahan gedung-gedung bertingkat dan mobil mewah yang berseliweran di jalan Sudirman. Namun walau tak ingin, matanya tak bisa menghidari sederatan gubuk reyot di balik gedung-gedung megah itu. Awalnya Bram gelisah. Tapi itu dulu, bertahun-tahun lalu. Lambat laun ia terbiasa.  Kesibukan pekerjaan, rapat-rapat tingkat pimpinan bahkan urusan ke luar negeri membuat pemandangan itu menjadi kabur. Kegelisahan hatinya pelan-pelan surut. Ia tak lagi bicara... sampai siang hari itu, ketika Diana menelpon. ‘Kalau bukan kamu siapa lagi yang bisa menolong Jonatan?’

Turun dari Honda CRV yang sejuk, Bram melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Di loket orang berdesakan. Di bangku panjang seorang bocah perempuan tergolek lemas di pangkuan ibunya, tak kuat menunggu petugas memeriksa berkas-berkas surat miskin yang dibawa ayahnya. Bram membuang muka, menepis gelisah yang tiba-tiba datang mengusik hati. Matanya mencari-cari Diana, seperti apa rupanya sekarang?
‘Bram ya?’, seorang menyapanya ramah. Bram berbalik cepat, menatap sosok ramping yang bersahaja. Matanya yang bulat tajam menyiratkan kecerdasan dan keteguhan hati.  ‘Apa kabar Diana?’. Bram mendadak rikuh.
‘Ayo, kita langsung ke ICU’. Diana melangkah ringan menemui perawat jaga dan tampaknya beradu pendapat untuk mendapat ijin masuk berdua. Bram tertegun. Alangkah berbeda dengan Kinar dan Angela, dua perempuan yang pernah mengisi hatinya.

Jonatan terbaring dengan selang di sana-sini. Seorang anak laki-laki, masih muda. ‘Mungkin dua puluh tahun’, Diana berbisik. Sendirian di ibukota, tanpa saudara atau  keluarga. Sejauh-jauh yang ia kenal hanyalah sesama kuli di pasar Pondok Labu. Dan mungkin kepala preman kepada siapa dia harus membayar setoran. Itulah profesinya sejak dua tahun lalu. Sesaat setelah ibunya meninggal seorang kenalan yang mengaku paman mengajaknya ke Jakarta dengan sejuta janji. Alih-alih dipekerjakan di pabrik komputer, Jonatan dijadikan pembantu dan mengalami pelecehan seksual. Tak tahan diperlakukan demikian Jonatan memilih kabur dan sempat tidur di emperan toko, sebelum akhirnya terdampar di pasar Pondok Labu.
‘Serombongan kuli kemarin mendatangi kios dan memintaku untuk menjamin  pengobatan Jonatan’, Diana melanjutkan. Tiga hari lalu Jonatan pingsan. Para kuli melarikannya ke rumah sakit dengan angkot sewaan. Lalu membayar persekot supaya ia bisa dirawat. Dokter bilang sakitnya parah, harus dioperasi. Dan harus ada yang menjamin pengobatannya. ‘Kami pikir ibulah orangnya’, Diana menirukan Sobari, kuli berbadan kekar yang menjadi juru bicara. Yang lain menimpali tanda setuju.

Betul, harus ada orang yang bertanggungjawab atas pengobatan Jonatan. ‘Tapi pasti  bukan aku. Aku cuma pedagang sembako’, batin Diana. Lalu siapa? Sesama kulikah? Atau teman sesama suku? Belakangan ia tahu kalau Jonatan berasal dari daerah yang sama. Mungkin itu alasan para kuli mendatanginya. Ataukah sesama agama? Plak! Diana merasa tertampar.  Kuli-kuli itu sudah membayar sewa angkot dan persekot rawat inap, padahal mereka miskin. Berbeda suku, berbeda agama lagi! Suara-suara bergemuruh dalam hatinya. Antara biaya operasi dan desakan para kuli. Antara kenyamanannya dan nyawa Jonatan. Suara kuli makin keras menggema. Lalu menyatu dengan Suara lain yang senada,  muncul dari kedalaman nuraninya. Suara itulah yang menggerakkannya menghubungi Bram. Lalu kemudian Melati dan Kurnia serta sekian  nama lainnya. Sampai habis pulsanya, dan kios sembako terpaksa ditunggui adiknya. Suara itu tak bisa diam dan terus mendorongnya – bersama  Bram – untuk melakukan segala upaya demi menyelamatkan Jonatan. Meski akhirnya nyawanya tak tertolong  sekalipun operasi sudah dilakukan, Diana lega karena paling tidak,  di ujung kehidupannya anak laki-laki itu telah diperlakukan sebagaimana layaknya seorang manusia. 

Hujan deras berhenti tepat ketika mobil sampai di depan rumah Diana.
‘Sampai besok Di...’. Entah kenapa, hati Bram selalu ingin kembali.

Cukup lama aku jalan sendiri, tanpa teman yang  sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini, tajamnya  matamu tikam jiwaku
Kau tampar, bangkitkan aku, sobat.......(Iwan Fals)

Suara hati Diana terus bergema. Menyentuh nurani dan membangunkan jiwa. Untuk menyatakan kasih. Kepada sesama manusia........

Buletin No.04/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar