Kamis, 19 Agustus 2010

Keberpihakan kepada Perempuan dalam Pemberitaan Firman

KEBERPIHAKAN KEPADA PEREMPUAN DALAM PEMBERITAAN FIRMAN 
(Tanggapan terhadap Kotbah 25 Nov 2007 dari Yohanes 8 : 2-11)

Tanggapan saya terhadap kotbah kemarin :
  1. Membuat contoh-contoh yang kurang tepat (tidak berpihak pada kaum wanita) dan disampaikan dengan ringan (kurang berempati)
a.       Istri yang terus sabar walaupun ada KDRT
b.      Istri yang kerap menghakimi suami
c.       Istri yang tidak bisa mengampuni walaupun suami sudah mengaku salah
Akibat yang mungkin timbul adalah :
-         orang menganggap pengampunan itu murahan (terutama pada pihak yang diuntungkan oleh contoh tersebut)
-         tidak ada kekuatiran akan rusaknya relasi dengan pasangan karena toh pengampunan itu mudah didapat
-         karena tidak ada empati terhadap pihak yang menjadi korban maka mungkin sekali akan menimbulkan frustasi di pihak istri (korban KDRT, korban pengkhianatan/kebohongan)

  1. Inti perikop tidak clear ditangkap oleh jemaat karena ilustrasi kurang terarah dan (sekalipun masalahnya serius) disampaikan dengan ringan. Menurut pendapat saya eksposisi kemarin seharusnya fokus pada hal berikut :
-         Semua manusia berdosa (dosa zinah maupun dosa kemunafikan)
-         Tuhan Yesus berotoritas mengampuni dosa
-         Betapapun nistanya dosa (termasuk dosa selingkuh), manusia hendaknya meneladani Yesus yang mau mengampuni

Pandangan saya seputar masalah gender:
  1. Karena masyarakat kita menganut budaya paternal yang sangat kuat, maka sebagai warga gereja cara pandang kita terhadap masalah gender   sedikit banyak terkena imbas. Salah satunya adalah kalau suami melakukan dosa zinah itu karena kodratnya diciptakan demikian. Oleh karena itu kaum wanita (para istri) diharapkan dapat lebih toleran. Secara tidak sadar ini disosialisasikan di seminar2 keluarga, termasuk dalam lingkup gereja. Semula tujuannya mungkin positif, yaitu agar kaum istri dapat lebih memahami kelemahan kaum pria. Namun dampak negatifnya adalah - terutama apabila hal itu terus menerus disosialisasikan tanpa ada imbangan -  kaum pria  bisa jadi permisif terhadap perilaku demikian. Bukankah kaum wanita (para istri) telah dikondisikan untuk mengerti (menerima) dan mengampuni. 
  2. Hal lain yang berkembang adalah kecurigaan terhadap wanita yang mapan karirnya. Seorang wanita (apalagi berstatus istri) yang menduduki jabatan penting selalu mendapat sorotan dari sekelilingnya. Seolah-olah ada ‘ketakutan’ bahwa wanita-wanita tersebut akan mengancam dominasi kaum pria. Bagi saya ini banyak dipengaruhi paham agama tertentu yang tidak menghendaki wanita berkembang secara intelektual. Saya berkeyakinan bahwa Allah sebagai Pencipta manusia, menghendaki baik laki2 maupun perempuan untuk mengembangkan potensi dan karunianya secara maksimal. Apabila kemudian keduanya membangun keluarga, maka hal tersebut tidak membuat pengembangan potensi/karunia sebagai individu otomatis berhenti, tetapi hendaknya disinergikan dengan peran baru mereka dalam keluarga (Efesus 5). Saling menolong dalam mengembangkan potensi/karunia akan terus berjalan  selama keduanya mengarungi bahtera rumah tangga, selama hidup masih diberikan Tuhan. Kekuatiran bahwa istri yang pintar (berbakat, berprestasi, dll) akan memandang rendah suaminya rasanya berlebihan. Saya kira ini dipengaruhi cara pandang kaum pria yang memberi ‘value’ pada prestasi dan kesuksesan. Padahal sesungguhnya  wanita memberi ‘value’ pada sifat dan kepribadian seseorang.

Kenyataan bahwa dengan bekerja di luar rumah seorang ibu akan kehilangan waktu bersama anak-anaknya adalah memang benar. Saya percaya akan pentingnya kwantitas pertemuan dengan keluarga. Oleh karena itu, baik suami maupun istri sama-sama menggumulkan hal ini dalam pimpinan Tuhan. Apabila kita sungguh-sungguh memahami firmanNya, bukan hanya para istri/ibu yang perlu berpikir dua kali akan pekerjaannya, tetapi juga para suami/ayah. Tanggung jawab dalam membangun keluarga ada pada suami dan istri. Sebagai anak Tuhan keduanya melakukan  perannya sesuai firman Tuhan (Efesus 5). Saya yakin apabila suami dan istri tinggal di dalam Tuhan maka tidak ada kesulitan yang cukup berarti dalam melaksanakan peran tersebut. Kelemahan yang satu diisi oleh yang lain demi membangun keluarga sebagaimana yang Tuhan inginkan.


Saran-Saran :
Oleh karena itu, sebagai hamba Tuhan yang bertanggung jawab mendidik jemaat, apabila memberi ilustrasi berkenan dengan topik2 seperti di atas,  alangkah baiknya untuk memberi ‘imbangan’ dan bukan malah mempertajam masalah tersebut. Misal :
-         Daripada contoh istri korban KDRT yang mengampuni suami, mengapa tidak memberikan contoh suami yang mengampuni istri yang telah berbuat salah atau tidak bijak menangani kehidupan keluarganya
-         Memberikan contoh-contoh tentang pria yang berhati Bapa, yaitu suami yang memahami istrinya sekalipun secara fisik tidak dapat tampil baik atau tidak dapat memenuhi keinginan rekreasi suami (biasanya istri yang baru melahirkan, istri yang bekerja keras ataupun istri yang memasuki masa menopause). Ini jauh lebih positif daripada sekedar memberi saran pentingnya istri berdandan, yang sudah banyak disampaikan dalam seminar2 kecantikan
-         Contoh2 berkenaan dengan dosa yang serius, seperti perselingkuhan, KDRT, dll sebaiknya disampaikan dengan lebih berempati. Lebih baik lagi apabila disampaikan dalam forum terbatas. Sebelum menyampaikannya barangkali kita perlu membayangkan seandainya kita atau anak atau saudara kita yang mengalaminya. Contoh yang disampaikan tanpa empati dapat membangkitkan rasa frustasi dari pihak korban.
-         Agar lebih hati-hati memberikan contoh ibu yang menerlantarkan keluarga karena sibuk berkarir. Perlu dipikirkan seberapa besarkah kecenderungan ini dalam masyarakat kita (dan gereja), cukup signifikankah? Saya kuatir  ini hanya upaya kaum pria (dalam konteks budaya paternal tadi) yang tidak menghendaki perempuan berkembang secara intelektual.  Contoh ini bukan hanya dapat menimbulkan citra negatif bagi wanita berprestasi, tapi lebih jauh lagi dikuatirkan dapat membuat para istri takut berkarya, takut mengembangkan potensi dan karunia yang Tuhan berikan. Saya yakin sekali bahwa apabila ada survey yang mengharuskan wanita memilih salah satu di antaranya – karir atau keluarga – sebagian besar akan memilih keluarga

Kiranya tanggapan saya dapat dipandang sebagai masukan untuk dipelajari.


Jimbaran, 27 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar