Jumat, 13 Agustus 2010

Pedagang Boneka

Dulu, waktu masih kelas nol kecil aku sering berlagak di depan kelas, ‘Aku anak tentara. Bapakku pergi berperang untuk menjaga  negeri ini. Mengusir orang-orang jahat yang mengganggu keamanan’. Teman-temanku bertanya, ‘Apa bapakmu punya pistol? Apa bajunya loreng?’ Dengan bangga kuceritakan kehebatan bapakku, bagaimana ia bertempur melawan musuh. Aku tak mengerti istilah operasi militer yang sering disebut-sebut Bapak. Bagiku itu tentulah suatu pertempuran, seperti perang yang kulihat di televisi. Teman-temanku kagum. Walaupun di TK itu ada juga anak tentara, tapi di kelasku, kelas nol kecil, cuma aku sendiri. Banyak di antara mereka yang takut kepadaku, sangkanya aku akan mengadu kalau mereka nakal. Tapi aku tak pernah nakal, tak boleh kata ibu. Itulah kebahagiaanku di masa kecil. Bersekolah dengan penuh kebanggaan sebagai anak seorang tentara.

Tapi itu dulu, bertahun-tahun lalu. Waktu bapak masih aktif berdinas. Ketika aku kelas 2 SD ia terkena tembakan dalam sebuah operasi militer di Aceh. Bapak pulang dalam keadaan buta mata kirinya. Ia dipensiunkan dengan terhormat dan mendapat uang pesangon yang cukup besar. Uang itu dibelikan rumah yang sekarang kami tempati. Kuingat bagaimana kami harus meninggalkan perumahan tentara, yang walaupun hanya sepetak kecil namun bagiku sangat membanggakan. Sampai saat ini Bapak masih menerima uang pensiun, namun kata ibu tak cukup untuk biaya hidup kami. Oleh karena itu Bapak mencari pekerjaan. Mulai dari pegawai kantor sampai security ia coba lamar. Tapi siapa mau mempekerjakan orang buta? Bertahun-tahun ia berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tukang parkirpun pernah ia lakoni. Sampai pada akhirnya ia memilih berdagang boneka. Dan itulah profesinya sampai hari ini.

Aku melirik jam di atas kepala pak guru. Sebentar lagi bel istirahat kedua. Inilah waktu yang paling menyiksa. Saat teman-temanku bermain di halaman sekolah, saat itu Bapak akan lewat menjajakan jualannya. Memang itu jam pulang anak-anak kelas 1 dan 2SD, jadi banyak ibu-ibu menunggu. Ini kesempatan baik. Anak-anak itu merengek minta dibelikan boneka. Warna-warninya menarik hati, lagipula harganya terjangkau. Jauh sekali dibandingkan dengan harga toko. Tapi, Sinta – anak paling kaya di kelas 8C – mencibirkan bibirnya yang monyong. ‘Itu kwalitas rendahan, makanya harganya murah’. Besoknya ia memamerkan boneka beruangnya yang berbulu halus dan empuk. Anak perempuan terkagum-kagum. Tapi Bapak tak kekurangan langganan.

Yang lebih menyakitkan adalah gurauan anak laki-laki yang suka menirukan cara Bapak menjajakan dagangannya. Mereka, anak-anak 8C itu tertawa keras-keras sambil matanya melirik ke arahku. Teman-temanku bilang tak usah dihiraukan. Tapi hatiku sakit juga. Aku mau bilang, dulu bapakku tentara. Tapi kubatalkan. Pasti mereka tak percaya. Mana mungkin orang buta jadi tentara. Pak Wayan Subawa Kepala Sekolah kenal dengan bapak, dan kadang-kadang mengajaknya ngobrol. Tapi itu tak membuat teman-temanku percaya bahwa dulu Bapak adalah tentara yang berjasa terhadap negeri ini.

Sore itu sepulang sekolah aku tidur-tiduran di kamar. Hatiku masih kesal ingat Agus yang mengejek Bapak siang tadi. Mungkin ia cuma mau mencuri perhatian Sinta, tapi tawa mereka membuat hatiku panas. Tanpa sadar, tanganku melayang ke  pipinya yang tembem. Plak! Dia kaget. Anak perempuan berlarian keluar kantin. Anak laki-laki bersorak. Untung pak Made guru olah raga datang melerai, kalau tidak kami sudah baku hantam. Aku kesal sama Agus. Aku juga malu punya bapak pedagang boneka. Huh! Kenapa sih Bapak tak memilih profesi lain? Pegawai kantor atau mungkin pedagang sembako, bagiku itu lebih baik. Kenapa pedagang boneka? Langganannya cuma ibu-ibu dan anak perempuan. Memalukan! Dengan hati panas dan perut kosong aku tertidur sampai pagi. Hujan deras yang terus-menerus mengguyur Denpasar membuatku tidur pulas dan bermimpi jadi anak orang kaya.

Pagi itu aku memasuki halaman sekolah yang becek. Kulihat Agus dan seorang laki-laki paruh baya. Oh, pasti ayahnya! Jangan-jangan dia mau memarahiku. Dengan kepala menunduk aku melintas cepat-cepat. Tiba-tiba, laki-laki itu menepuk bahuku.
‘Aditya, saya bapaknya Agus. Saya mau menyampaikan terimakasih sama bapakmu. Tolong kasitau, boneka yang kemarin dibeli Iluh, adiknya Agus, telah menyelamatkan nyawanya dari runtuhan tembok’. Aku diam tak mengerti. ‘Aku juga minta maaf karena kemarin mengejek Bapakmu’. Suara Agus menimpali, makin membuat aku bingung. Kami bersalaman kagok.

Keesokan harinya kubaca di koran berita seorang anak perempuan yang lolos dari maut. Sebuah boneka besar yang menemaninya tidur telah menyelamatkannya dari tembok kamar yang runtuh akibat tanah longsor. Iluh, anak itu juga difoto sambil memeluk boneka beruangnya yang sudah robek. Boneka yang dibelinya dari Bapak persis pada hari aku bertengkar dengan Agus.

Aku terdiam, pikiranku mengawang.  Sebuah perasaan lain menyelinap dalam hatiku. Tiba-tiba aku merasa bangga.  Bapak tetap seorang pahlawan. Dia bukan hanya menghidupi keluarga kami. Tapi pekerjaannya juga telah menyelamatkan nyawa orang lain.

‘Pekerjaan halal apapun yang membawa kebaikan bagi orang lain adalah mulia..’, suara bu Kus guru Budi Pekerti memecah lamunanku.


Buletin No.03/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar