Jumat, 13 Agustus 2010

Kamar Kos

Setengah berlari aku menapaki jalan sempit limestone tak jauh dari kampus. Motor kuparkir di bawah pohon ketapang di depan studio gambar. Toh tak jauh, pikirku. Lagipula jalan kaki baik buat kesehatan, begitu anjuran dosen Perancangan Arsitektur tadi. Entah kenapa kuliahnya ngelantur ke mana-mana, sampai ke masalah kesehatan.

Kulihat jejeran kamar kos yang semua pintunya tertutup. Jemuran di depan pintu digelantungi pakaian dalam wanita warna-warni. Memang ini kos2an cewek. Itu sebabnya aku ke sini mencari kamar kosong untuk karyawan yang mau kerja di kantor papaku.

Aku melangkah ringan menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka. Mungkin milik juragan kos. Uups! Hampir saja aku menabrak sesosok tubuh yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
‘Eeh...maaf pak, maaf....’. Aku terbungkuk-bungkuk seperti kucing ketangkap basah. Koq ada laki2 di sini?

‘Selamat siang pak....apakah bapak pemilik kos2an ini?’, tanyaku sesopan mungkin.
Orang itu tak menjawab. Mungkin dia tuli.
‘Selamat siang pak... bapak pemilik kos2an ini?’, tanyaku lebih keras. Mataku mencuri pandang. Wajahnya belum terlalu tua, pucat kelelahan. Air mukanya sulit kugambarkan. Sepertinya ia menahan marah. Gerak-geriknya menunjukkan betapa ia bingung.
‘Bukan’, nadanya datar. Pasti dia tak menyukai kehadiranku. Dari sudut mata kulihat seorang gadis – mungkin seumuran ku – membenamkan kepalanya di tempat tidur. Mengabaikan kehadiranku bagai seonggok pakaian kotor.
‘Nng...apakah bapak tau di sini ada kamar kosong?’
Orangtua itu melangkah ke sudut teras, bersandar ke dinding sambil menatap kosong ke langit.
‘Saya nggak tau’, nadanya ketus. Mungkin maksudnya begini, sudah jangan banyak tanya, pergi saja. Saya lagi tak mau diganggu.
Angin bukit yang panas bertiup pelit, menerbangkan beberapa helai daun kering yang berjatuhan di teras. Bali memang lagi panas-panasnya. Kulirik lagi anak itu, terdengar isak tangis yang ditahan.
‘Dia anak bapak ya?’ Kalimat itu meloncat begitu saja tanpa bisa kutahan.
Orangtua itu menarik nafas dan menghembuskannya kuat-kuat. Mungkin ia mau menghempaskan seluruh beban pikirannya. Atau, bisa juga bermaksud menghempaskanku jauh-jauh dari hadapannya. Aku salah tingkah, merasa bersalah telah hadir di tengah situasi yang tidak tepat. Aku berbalik membelakangi, bermaksud pulang.
‘Ya, itu anakku’, tiba-tiba kudengar suaranya bergetar pelan. Angin bukit yang sedang bertiup mendadak berhenti, barangkali ingin turut mendengarkan.
‘Anak yang tadinya paling kuharapkan....Dia berhasil masuk Kedokteran tahun lalu tanpa tes. Waktu SMA dia juara sekolah’. Nadanya terasa berat, seperti memikul berton-ton beban.
‘Dia....dia korban laki-laki jahat...kakak kelasnya’. ‘Atau......entahlah, mungkin juga karena kebodohannya’.
Aku menelan ludah. Rasanya seperti tersangkut di kerongkongan. Kupalingkan mukaku ke dalam kamar, anak perempuan itu masih di sana, terisak-isak.
‘Dia hamil ya pak?’. Lagi-lagi aku merasa konyol telah mengatakan sesuatu tanpa berpikir. Terus terang aku tak tau harus mengatakan apa. Orangtua itu tampak sangat menderita. Raut mukanya menunjukkan kesedihan yang amat dalam. Sesaat matanya menatapku layu. Lalu tertunduk lesu dalam kebingungan.

Sebuah mobil pick-up berjalan mundur dengan susah payah ke arah kos2an. Seorang anak laki-laki berseragam SMA keluar dari dalam mobil. Pasti adiknya, aku menduga-duga. Wajahnya mirip orangtua itu. Tanpa menghiraukanku anak itu langsung masuk ke kamar mengangkuti barang yang ada ke dalam mobil. Supir pick-up berbaik hati ikut membantu.
Aku bergegas pulang. Tak sanggup berlama-lama memandangi orangtua yang kehilangan harap itu. Tubuh tuanya tampak semakin kurus keriput.
‘Anakku kubawa pulang hari ini...besok harus bagaimana, aku tidak tahu...’, suaranya bagai   angin bukit yang kelelelahan, bertiup lemah dari kejauhan.
Kutinggalkan kos2an yang bagiku terasa bagaikan neraka. Tak kuingat lagi tugasku mencari kamar kosong untuk karyawan papa.
Aku berbelok memasuki halaman kampus, menuju pohon ketapang di depan studio gambar. Sepasang burung kepodang terbang bebas di langit biru. Alangkah luas dunia ini. 

Kustarter motorku dan berjalan meninggalkan kampus. Seperti burung kepodang itu aku akan terbang menerjang angin, menangkap awan-awan yang berkejaran di langit. Menjelajahi tempat-tempat yang selama ini hanya ada dalam mimpiku. Tak kubiarkan kebodohan menghalangi jalanku. Tak akan.

Buletin No.01/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar