Jumat, 13 Agustus 2010

Vallendar

( Untuk Ulfa yang Menikah Muda )

Masih jam lima lebih seperempat ketika Ayu berjalan pulang dari tempat kursus. Itu berarti matahari masih akan bersinar empat lima jam lagi. Musim panas menjadikan siang lebih panjang. Teringat rumahnya yang mungil di Bali. Tepatnya, di bukit Jimbaran. Sedang apa mereka sekarang? Aji, mama dan adiknya yang suka usil. Oh, mereka sedang tidur. Tiba-tiba ia sadar ada perbedaan waktu delapan jam antara Jimbaran dan Vallendar di Jerman.

Hahaha....aku sekarang di Jerman! Rasanya mau meledak ketika pertama kali menjejakkan kaki di bandara Frankfurt. Serasa mimpi. Pemerintah Jerman menghadiahinya bea siswa untuk mengikuti kursus musim panas. Ini kesempatan untuk belajar bahasa dan mengenal budaya Jerman. Kesempatan untuk berkenalan dengan remaja-remaja dari negara lain. Dan tentu saja, yang paling membuat hatinya melambung adalah kesempatan mengunjungi kota-kota di Jerman. Ia bertekad mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Dan kalau ia sungguh-sungguh belajar, bukan tak mungkin ia melanjutkan sekolah di sana. Wow! Sekolah di Jerman. Kini ia berani memimpikannya!

Mimpi. Itulah kata paling tepat untuk melukiskan semua yang dirasakan Ayu. Bayangkan! Usianya belum lagi tujuh belas. Dan mereka bukan orang kaya. Jangankan ke Jerman, bersekolah di Jakarta  saja ia tak berani bermimpi. Teringat dulu waktu lulus SMP, Andin sahabatnya melanjutkan ke SMA favorit di Jakarta. Dijamin lolos masuk perguruan tinggi mana saja, begitu kata Andin tentang sekolahnya. Ayu menelan ludah waktu mendengar angka belasan juta. Itu baru uang masuk sekolah. Mama menghiburnya. ‘SMA 14 juga bagus. Yang penting tekun pada bidang yang kamu minati’. Mama menganjurkan agar ia memperdalam bahasa. Menguasai satu bahasa dapat menjadi pintu masuk untuk melanjutkan sekolah ke negara yang bersangkutan. Soal biaya, kita bisa mencari bea siswa. Yang penting berusaha keras.
Ayu memang menyukai bahasa. Sejak SMP ia telah menunjukkan prestasi dalam berbagai lomba bahasa Inggris. Namun, memasuki SMA ia memilih  bergabung dengan klub   Jerman di sekolahnya. Dan benar kata mamanya, ia memang berbakat di sana. Tak sampai setahun ia mulai menunjukkan prestasi. Pada seleksi tingkat nasional Olimpiade Bahasa Jerman ia mencapai hasil yang memuaskan. Oleh pemerintah Jerman ia bersama sepuluh peserta terbaik lainnya menerima penghargaan untuk mengikuti kursus musim panas di Jerman. Dan Ayu pun terbang ke sana.

Masih satu setengah jam sebelum makan malam. Jadi ia putuskan untuk duduk-duduk di taman sambil menikmati suasana sore musim panas. Terlalu banyak hal menarik di sini, ia harus menuliskannya. Teman-temannya harus tahu, harus ikut merasakan. Ia ingin suatu saat mereka juga bisa  ke sini. Tiba-tiba  ia teringat Ulfa, teman sebangkunya, jagoan matematika.  Sayang, orangtuanya  ingin ia segera menikah. Seorang dokter yang masih terhitung kerabat siap  menikahinya selepas SMA. Ah! Sakit hati Ayu memikirkannya. ‘Waktu aku kuliah di Jerman, Ulfa sedang mengurus anaknya. Betapa malangnya!’. ‘Aku harus mengingatkannya’. Ayu meraih diarynya dari dalam ransel.

Dari perbukitan Vallendar aku berdiri memandang ke arah kota tua Koblenz, di seberang sungai Rhein yang termasyhur itu. Padang rumput bagaikan permadani hijau, membentang dari utara sampai  barat daya. Warna-warni bunga liar  seperti butter cup, red poppy dan foxglove menambah  semarak padang rumput. Pohon sycamore tumbuh di sepanjang jalan. Tupai dan kelinci berlarian di sana-sini. Burung gagak terbang bebas di langit dan hinggap semaunya di pohon-pohon itu. Tak seorangpun berniat mengusik, apalagi menembaki burung-rung itu....

Dari tempatku berdiri saat ini, tampak perkampungan di lembah sebelah barat. Rumah-rumah kayu bercat merah dan atap gereja berbentuk kerucut menyembul dari balik ladang oats yang bergelombang. Bali memang indah, mungkin yang terindah di antara semua tempat-tempat berpantai. Tapi tempat ini berbeda. Padang rumput serasa  memanggil-manggil. Aku ingin berlarian di sana, mengejar tupai dan kelinci, kalau-kalau aku dapat menangkapnya. Ulfa, kamu harus melihatnya.....

Jam tujuh kurang lima menit. Tak terasa  sudah lebih satu jam ia di situ. Hari masih terang. Ayu mengemasi catatannya. Masih tiga minggu lagi ia di sini. Mereka, Ayu  dan teman-temannya akan berkunjung ke Bonn, ke Frankfurt dan Marburg. Mungkin juga ke Munich. Ia akan membuat catatan perjalanan. Tentang bangunan tua, museum dan kastil-kastil yang bertebaran di sana. Untuk jadi kenang-kenangan bagi dirinya. Dan oleh-oleh bagi Ulfa. Juga bagi teman lainnya. Supaya mereka berani bermimpi tentang Jerman, tentang Amerika dan negeri-negeri yang jauh. Dan rela berjuang untuk mengejar impiannya.


Buletin No.02/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar